Unknown
On Tuesday, February 19, 2013
Ilustrasi asal usul kota pati
Pati. Kota yang terletak di Propinsi Jawa Tengah ini menyimpan
misteri yang agak sulit untuk diungkap seluruhnya. Pernah menjadi bagian dari
Kerajaan Majapahit, membuat asal usul Kota Patimenjadi
sedikit samar.
Kabupaten yang namanya sama dengan ibukotanya ini termasuk dalam
wilayah Pantura ( pantai utara ) dengan batas-batas kabupaten yang menjadi
saksi sejarah munculnya kadipaten dan kerajaan di kemudian hari.
Sebelah utara ada Laut Jawa. Kabupaten Grobogan dan Kabupaten
Blora terletak di sebelah selatannya. Sebelah timur diisi oleh Kabupaten
Rembang. Barat berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Jepara.
Legenda rakyat telah membentuk sejarah Kota Pati. Dahulu, Pulau Jawa
sempat mengalami kekosongan pemerintahan setelah runtuhnya Kerajaan
Singosari. Kemudian, muncullah penguasa baru yang berasal dari wilayah Pantai
Utara atau sekitar Gunung Muria sebelah timur yang mengangkat dirinya sendiri
sebagai adipati yang menguasai sebuah kadipaten.
Saat itu terdapat dua penguasa, yaitu Adipati Yudhapati dariKadipaten
Paranggaruda yang wilayahnya meliputi Kabupaten Grobogan dan Puspa
Andungjaya dari Kadipaten Carangsoka yang wilayahnya meliputi Pantai Utara
hingga Kabupaten Rembang.
Kedua adipati itu berniat menikahkan putra putri mereka. Di tengah
pesta pernikahan, Rara Rayungwulan, putri dari Puspa Andungjaya malah melarikan
diri dengan dalang yang menghibur di sana. Terjadilah kekacauan dan peperangan.
Mereka yang berasal dari Paranggaruda mati dengan membela
kehormatan. Patih Carangsoka, Raden Kembangjaya, yang berjasa kemudian dinikahkan
dengan Rara Rayungwulan. Sementara, sang dalang malah dijadikan sebagai
patihnya.
Pemerintahan terus dilanjutkan di bawah kepemimpinan Kembangjaya.
Setelah memperluas wilayah kekuasaan Kadipaten Pesantenan hingga ke selatan, ia
wafat dan digantikan oleh anaknya, Raden Tambranegara yang kemudian memindahkan
kadipaten ke barat dan mengganti namanya menjadi Kadipaten Pati.
Raja Jayanegara dari Majapahit setiap tahunnya meminta upeti
berupa bunga pada Adipati Raden Tambranegara agar kekuasaan kadipaten tersebut
mendapat status dari Kerajaan Majapahit. Kisah ini terdapat dalam Kitab Babad
Pati.
Tempat Menarik di Pati
Ada beberapa scenic spot atau tempat teduh yang
menjadi objek wisata terkenal di Pati. Seperti Waduk Gunung Rowo, yang dibangun
pada masa pemerintahan Belanda di Kecamatan Gembong, tepatnya di lereng Gunung
Muria sebelah timur. Waduk lainnya yang tidak jauh dari Waduk Gunung Rowo
adalah Waduk Seloromo.
Masih di sekitar lereng Gunung Muria, terdapat Air Terjun Santi
dan dua air terjun lainnya. Selain itu, Kota Pati juga terkenal dengan wisata
gua seperti Gua Pancur di Desa Jimbaran yang memiliki panjang belasan
kilometer. Dan Gua Wareh yang ada di Pegunungan Kapur Utara yang merupakan
sumber mata air yang tidak pernah habis.
Asal Usul Terbentuknya Kota Pati
Terdapatlah Kadipaten Paranggaruda punya hajat mengawinkan putera
satu-satunya yang bernama Raden Jaseri dengan putri Adipati Carangsoko bernama
Dewi Ruyung Wulan.
Raden Jaseri adalah pemuda yang fisiknya cacat, dan berwajah
jelek. Hingga membuat Dewi Ruyung Wulan menolak untuk didekatinya. Namun karena
paksaan orang tua maka mau tidak mau Dewi Ruyung Wulan harus menerima Raden
Jaseri sebagai suaminya.
Pesta perkawinan telah berlangsung, Dewi Ruyung Wulan yang sedang
bersedih, ia meminta pestanya harus diadakan pagelaran wayang yang dimeriahkan
wayang kulit dengan dalang Ki Soponyono yang sangat terkenal sebagai dalang
yang mampu membawakan beberapa karakter tokoh yang ada dalam cerita Mahabarata
dan Ramayana.
Dalang Sapanyono kebingungan atas permintaan yang diajukan oleh
Dewi Ruyung Wulan, namun Hal ini hanyalah merupakan taktik dari Dewi untuk
mengulur-ulur pernikahan. Agar pernikahan ini dapat digagalkan sebab sebetulnya
ia tidak mencintai Raden Jaseri calon suaminya.
Raden Jaseri hatinya berbunga-bunga dapat bersanding dengan Dewi
Ruyung Wulan di pelaminan. Air liur Raden Jaseri selalu menentes bila melihat
kecantikannya. Tengah asyik-asyiknya pagelaran berlangsung, terjadilah
keributan yang ditimbulkan Dewi Rayung Wulan.
Ia lari dari pelaminan dan menjatuhkan diri di atas pangkuan
Dalang Saponyono, Dewi Ruyung Wulan telah hanyut dalam cerita Pewayangan, ia
terpesona dan jatuh cinta kepada sang dalang yang wajahnya lebih tampan dan
pandai memainkan cerita wayang daripada Raden Jaseri yang selalu mengumbar
nafsu birahinya.
“Bawa aku lari kakang Soponyono, kalau tidak lebih baik aku mati
saja!”
Hal ini tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama
orang tua kedua mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki
Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang berada di
Kadipaten Carangsoko.
Keadaan yang gelap gulita itu, membuat panik yang hadir dalam
perjamuan tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan Ki Saponyono melarikan diri
diikuti oleh kedua adiknya dan Dewi Ruyung Wulan.
Sang Adipati Carangsoko Puspo Handung Joyo sangat marah sekali. Ia
memanggil Patihnya Singopadu untuk segera mengatasi keadaan ini.
“Cepat perintahkan prajurit untuk menyalakan lampunya” para prajurit bergegas menyalakan
lampunya.
Setelah lampu menyala, Raden Jaseri bergulung-gulung dilantai
karena calon istrinya raib bersama Dalang Soponyono. Adipati Paranggarudo
memerintahkan patihnya Singopadu untuk segera mempersiapkan prajurit, mengejar
Dalang Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.
Ki Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan yang disertai adik-adiknya
berlari terus menuju hutan, mereka berjalan mengikuti alur sungai. Ki Soponyono
juga mengadakan perlawanan kepada para pengejar walaupun sia-sia, karena tidak
seimbang jumlah pengejar dan yang dikejar.
Mereka berjalan tertatih-tatih, sampailah mereka disebuah sawah
yang sunyi tidak ada sumurnya, dan sungai disekitarnya sudah kering karena
kemarau panjang itu. Jalan satu-satunya adalah mencuri semangka atau mentimun
yang ada di sawah tersebut.
Mereka tidak menyadari bahwa semua bergerak-geraknya diawasi dari
jauh oleh pemilik sawah yaitu adik dari Panewu Sukmoyono yang bernama Raden
Kembangjoyo. Berdasarkan laporan penduduk bahwa sawahnya sering dirusak oleh
binatang-binatang seperti kerbau, kancil.
Namun kali ini Kembangjoyo kaget ternyata yang selama ini yang
merusak tanamannya bukan binatang tapi manusia. Kembangjoyo memerintahkan anak
buahnya untuk mengepung sawah tersebut.
“Ternyata selama ini yang merusak tanaman-tanaman kami adalah
kamu! Ya maling! Tangkap”
Terjadilah perang antara Ki Soponyono dengan anak buahnya Kembang
Joyo, mereka semua dapat dilumpuhkan oleh Soponyono. Akhirnya Kembang Joyo
turun tangan mereka berdua bertarung ditengah sawah. Namun tanpa daya Ki Soponyono
melawan R. Kembangjoyo, karena Kembang Joyo lebih sakti dari Ki Soponyono.
Ki Soponyono ditlikung kakinya, kemudian tangannya diikat dengan
tali dadung.
“Saya mencuri karena terpaksa Ndoro”
“Yang namanya maling juga terpaksa semua”
Sejurus dengan itu keluarlah Dewi Ruyung Wulan beserta kedua adik
Dalang Soponyono.
“Lepaskan kakang Soponyono, yang kamu buru aku kan, aku boleh kamu
bawa asalkan Kakang Soponyono dilepaskan dahulu”
Dewi Ruyung Wulan mengira bahwa yang menangkap Dalang Soponyono
adalah Pasukan Paranggarudo. Kembang Joyo menjadi heran ternyata maling yang
ditangkapnya membawa tiga orang gadis yang cantik-cantik.
Mereka berempat menjadi tawanan R. Kembang Joyo, kemudian mereka
dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk diminta penjelasannnya. Ki Soponyono
memperkenalkan satu persatu kawan-kawannya.
Selanjutnya ia menceritakan semua kejadian-kejadian yang telah
dialami, mengapa mereka sampai di dikejar-kejar pasukan Parang Garudo, mereka
terpaksa mencuri semangka dan mentimun milik Raden KembangJoyo, karena kehausan
dan lapar.
Mendengar penuturan Ki Soponyono tersebut Penewu Sukmayono merasa
kasihan dan tidak sampai hati untuk menjatuhi hukuman. Penewu Sukmayono
bersedia menampung dan melindungi mereka.
“Tinggal disini semaumu, masalah Paranggarudo biar kami yang akan
menghadapinya”
Sukmoyono mempersilahkan Dalang Soponyono, dan ketiga putri untuk
beristirahat dahulu.
Sebagai rasa terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan
Sukmoyono, Ki Saponyono mempersembahkan kedua adiknya kepada Sang Penewu untuk
dijadikan hambanya. Persembahan tersebut diterima dengan senang hati.
Akhirnya Ambarsari diperistri oleh Penewu sebagai selir, sedangkan
Ambarwati diberikan kepada R. Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya. Sedangkan
Dewi Ruyung Wulan akan dikembalikan kepada bapaknya Adipati Carang Soko, Puspo
Handung Joyo.
Sementera itu para prajurit Parang Garudo masih saja melakukan
pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Sampailah mereka di
Majasemi. Betapa marahnya Adipati Yudhopati ketika mendapat laporan bahwa
buronan Dalang Soponyono, Dewi Ruyung Wulan bersama kedua adik Soponyono berada
Di Majasemi mereka dilindungi oleh Penewu Sukmayono.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat seru banyak korban yang
berjatuhan, juga Ki Penewu Sukmoyono gugur dalam pertempuran itu. Mendengar
Penewu Sukmayono gugur, Raden Kembangjoyo mengamuk dengan memegang keris Rambut
Pinutung dengan kuluk Kanigoro menghancurkan Pasukan Paranggarudo.
Mereka dibantu oleh pasukan Carangsoko, pertempuran dahsyat antara
Patih Singopati dengan Patih Singopadu, memporsir energi sehingga keduanya
gugur di medan laga. Pertempuran di Majasemi berakhir dengan membawa banyak
korban.
Ki Saponyono mengantarkan Dewi Ruyung Wulan bersama-sama dengan
Raden Kembangjoyo. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Ruyung Wulan diberikan
kepada Raden Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya, karena Kembang Joyo
berhasil mengalahkan Yudho Pati adipati Paranggarudo kemudian ia menetap di
Carangsoko menggantikan Puspo Handung Joyo sebagai pemimpin Kadipaten.
Ia juga diangkat menjadi Adipati setelah menggabungkan tiga kadipaten
yaitu Paranggarudo, Carangsoko dan Majasemi menjadi satu kadipaten Pati
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga kadipaten yang bertikai.
Untuk lebih memantapkan dalam memimpin kadipaten, ia mengajak
Dalang Soponyono untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan mencari lokasi yang
baik sebagai pusat pemerintahan, raden Kembangjaya dan Raden Sopanyono menuju
hutan Kemiri, dan segeralah hutan tersebut dibabat untuk Kadipaten.
Selanjutnya Kembang Joyo dan Dalang Soponyono beserta parajurit
Carangsoko melanjutkan pekerjaannya membuka Hutan Kemiri menjadi perkampungan,
ditengah mereka sedang membuka hutan datanglah seorang laki-laki memikul
gentong yang berisi air.
“Berhenti kisanak!, siapa namamu dan apa yang sedang kau pikul
itu?”
“Saya Ki Sagola, yang gentong yang kupikul ini berisi Dawet, aku
terbiasa berjualan lewat sini.”
“Dawet itu minuman apa?, coba saya minta dibuatkan,
prajurit-prajurit saya ini juga dibuatkan!
“ Kenapa hutan ini kok ditebangi?, kasihan para binatang pada lari
ke gunung?”
“Kami sedang membuka hutan ini untuk perkampungan baru, agar kelak
dapat menjadi kota raja yang makmur, gemah ripah loh jinawi, sebab derah kami
dulu sudah tidak memungkinkan kita tempati akibat perang Saudara”
Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan minuman Dawet yang manis
dan segar, maka ia bertanya pada Ki Sagola tentang minuman yang baru
diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa minuman ini terbuat dari Pati Aren
yang diberi Santan kelapa, gula aren.
Mendengar jawaban itu Raden Kembang Joyo terinspirasi, kelak kalau
pembukaan hutan ini selesai akan diberi nama Kadipaten Pati-Pesantenan. Dalam
perkembangannya Kadipaten Pati-Pesantenan menjadi makmur gemah ripah
loh jinawi dibawah kepemimpinan Kembang Joyo.